Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses
percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain, sehingga membentuk kebudayaan baru.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan
kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.
1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi
di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya
Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah,
patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa
adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya
adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur
merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
2. Seni Rupa dan Seni
Ukir
Masuknya pengaruh India
juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir.
Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian
dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding
pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di
sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung
dan burung merpati. Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah.
Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu
dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.
3. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan
seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan
ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum,
dan wiracarita (kepahlawanan).Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita
hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah
oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra
terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni
pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia,
khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan
wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan).
Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari
Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan
seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias
wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya
tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak
ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh
penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada
prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya
Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali
Kuno (Indonesia).
4. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara,
orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna
filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya
disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan seorang naik
perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal rohnya akan
melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka.
Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai
roh halus.Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup
(animisme).Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak
punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di
India adalah sebagai tempat pemujaan.
Di Indonesia, disamping sebagai
tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah
raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu
jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini
jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman
dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. Bentuk bangunan lingga dan yoni
juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut
Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan
yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga
lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.
5. Sistem Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh
India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara
sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa
atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala
suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua
(senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu
termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib
(kesaktian).
Setelah pengaruh India masuk, maka
pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini
secara jelas terjadi di Kutai. Salah satu bukti akulturasi dalam bidang
pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan
gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja memiliki
kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian
disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.


No comments:
Write comments